Tuesday, December 7, 2010

Walimah Al-`Ursy




Definisi Walimah
Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literature arab yang membawa arti jamuan yang dikhusus untuk perkahwinan sahaja. Walimah diadakan ketika akad nikah berlangsung, atau sesudahnya atau ketika hari perkahwinan. Walimah juga biasa diadakan menurut adat yang berlaku dalam masyarakat. 

Hukum Walimah
Agama islam mengajarkan bahwa perkahwinan merupakan peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Oleh kerana itu Nabi mengajarkan agar peristiwa perkahwinan dirayakan dengan suatu peralatan atau walimah. Dalam sabda Nabi SAW “Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”. Terdapat dalil tentang kewajipan walimah dalam pernikahan. Ini adalah pendapat ulama mazhab Azh-Zhahiri. Satu pendapat mengatakan, ini adalah redaksi syafi`I dalam kitab Al-Umm.

Ditunjukkan dengan riwayat Ahmad dari hadits Abu Buraidah bahwa Nabi SAW bersabda ketika Ali melamar fathimah, “harus ada walimah”. (sanad hadits tidak cacat). Ini menunujukkan keharusan walimah yang semakna dengan wajib. Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan Abu Asy-Syaikh dan thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Abu Hurairah RA secara marfu “ walimah adalah hak dan sunah. Siapa yang diundang lalu ia tidak menghadiri undangan itu,maka ia telah berbuat maksiat.” Secara tekstual, hak menunjukkan kewajiban. 

Ahmad berkata “ walimah hukumnya sunah” Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukumnya mandud (dianjurkan) . Ibnu Baththal berkata Aku tidak mengetahui ada seseorang ulamak yang mewajibkan walimah.”  Seolah-olah ia tidak tahu adanya perbedaan pendapat. Ia membuktikan hokum mandub dengan ucapan Syafi`I . “Aku tidak tahu ada seseorang yang diperintahkan mengadakan walimah selain Abdulrahman bin Auf, dan aku tidak tahu bahwa Nabi SAW  tidak mengadakan walimah.”

Baihaqi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, dan menjadikannya sebagai sandaran bahwa keberadaan walimah tidak wajib. Kandungan hadits ini samar dan pendapat yang unggul mengatakan bahwa walimah adalah sunah. ( Asy- syaukani).
Perjalanan jauh dan berat, maka ia boleh datang.”

Diriwayatkan dari Atha ` ia berkata : Ibnu Abbas diundang makan saat ia sedang mengurusi masalah perairan. Lalu ia berkata kepada kaum itu, “ penuhilah undangan saudaramu! Sampaikan salam kepadanya, dan beritahu ia bahawa aku sibuk.” (HR. Abdurrazzaq) Iman Al-baghawi mengatakan bahwa memenuhi panggilan selain walimah nikah hukumnya mustahab., bukan wajib, menurut mayoritas ulama. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “seandainya aku diundang untuk makan kaki kambing , maka aku pasti memenuhi undangan itu.’ ( HR bukhari).

Hukum Menghadiri Walimah 

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda,
إذا دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتها . (متفق عليه)                                                                                               
"  jika salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka hendaklah ia menghadirinya.”

            Imam al-Baghawi menyebutkan, para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadiri undangan walimahtul ursy (resepsi pernikahan). Sabagian mereka berpendapat bahwa menghadirinya merupakan suatu hal yang sunnah. Sedangkan ulama lainnya mewajibkannya sampai pada batas jika seseorang tidak menghadirinya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia telah berdosa. Hal itu berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

شر الطعام طعام الوليمة يمنعها من يأتيها ويدعى إليها من يأباها ومن لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله .

“ Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, di mana orang yang mau mendatanginya dilarang mengambilnya, sedang orang yang diundang menolaknya. Dan barang siapa yang tidak memenuhi undangan, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya”

Apabila hukum menyelenggarakan walimah adalah sunnah muakkad, maka hukum menghadiri walimah adalah wajib. Hadis Nabi  riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibn `Umar mengajarkan : “Apabila seorang kamu diundang menghadiri walimah hendaklah ia mengabulkan, baik walimah perkahwinan maupun lainnya.”

 Imam Bukhari meriwayatkan hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengajarkan: “ orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti berbuat durhaka kepada Allah dan Rasulnya.”
 Iman Bukhari meriwayatkan hadits Nabi dari Abu Hurayrah yang mengajarkan: Apabila salah seorang diantara kamu diundang menghadiri walimah, hendaklah mengabulkan: apabila sedang berpuasa hendaklah mendoakan dan apabila sedang tidak berpuasa makanlah hidangan yang disajikan.” Hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah mengajarkan : Apabila aku diundang menghadiri jamuan makan yang meskipun hanya menyajikan makanan berupa kaki binatang ternak bagian depan,niscaya aku terima.

Syarat-syarat wajib menghadiri undang walimah menurut Ibnu Hajar sebagaimana disebutkan dalam kitab Fath al- Bari adalah sebagaimana berikut: 

a   Apabila lebih dari satu undangan Pengundangnya adalah orang mukallaf, merdeka dan dewasa membelanjakan harta bendanya. undangan tidak hanya ditujukan kepada orang-orang kaya, sedang orang-orang fakir tidak ikut diundang tidak terlihat adanya kecenderungan pihak pengundang untuk mencari hati seseorang, karena senang atau takut kepadanya (dengan kata lain, tidak ikhlas dalam penyelenggaraanwalimah untuk mengikuti sunnah).

d.     
e.     Walimah yang diselenggarakan pada hari pertama (apabila penyelenggaraannya lebih dari satu hari).tidak kedahuluan undangan lain, undangan yang lebih dulu, lebih banyak dipenuhi. Apabila lebih dari satu undanganuntuk waktu yang bersamaan diterima dalam satu waktu, maka yang lebih dekat hubungan kerabatnya lebih diutamakan, apabila tidak ada hubungan kerabatnya,  maka yang maka yang lebih dekat hubungan ketetanggaannya lebih diutamakan. 

f.       Tidak mendahulukan undangan lain: undangan yang lebih dulu diterima lebih berhak diterima. Apabila lebih dari satu undangan untuk waktu yang bersamaan diterima dalam satu waktu yang sama maka yang lebih dekat hubungan kerabatnya lebih didahulukan tidak terdapat kemungkaran dalam walimah.


Waktu Walimah
 
Dalam kitab Fathul Baari disebutkan, para ulama salaf berbeda pendapat mengenai waktu walimah, apakah diadakan pada saat diselenggarakannya akad nikah atau setelahnya. Berkenaan dengan hal tersebut terdapat beberapa pendapat. Imam Nawawi menyebutkan, “ mereka berbeda pendapat, sehingga Al-Qadhi Iyadh menceritakan bahwa yang paling benar menurut pendapat madzhab Maliki adalah disunnahkan diadakan walimah setelah pertemuannya pengantin laki dan perempuan di rumah. Sedangkan sekelompok ulama dari mereka berpendapat bahwa disunnahkan pada saat akad nikah. Sedangkan Ibnu Jundab berpendapat, disunnahkan pada saat akad dan setelah dukhul (bercampur). Dan yang dinukil dari praktik Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah setelah dukhul.

Yang Boleh Dikerjakan Dalam Walimah

            Dalam sebuah hadits terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seekor kambing itu batasan minimum untuk suatu walimah, khususnya bagi orang yang berkemampuan untuk itu. Seandainya tidak ada ketetapan yang berlaku dari Rasulullah, bahwa beliau pernah mengadakan walimah pernikahan dengan beberapa orang isterinya dengan apa yang lebih sedikit dari seekor kambing, niscaya hadits tersebut dapat dijadikan dalil bahwa seekor kambing adalah batasan minimum untuk suatu walimah.

            Al-Qadhi Iyadh mengemukakan, dan para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan maksimum maupun minimum untuk acara walimah, meski hanya diadakan dengan yang paling sederhana sekalipun, maka yang demikian itu dibolehkan. Yang disunnahkan bahwa acara itu diadakan sesuai dengan keadaan suami.

Hikamah dan syariah walimah

Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah rangka mengumunkan pada khalayak ramai bahwa kad nikah telah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk mengumumkan perkahwinan itu lebih penting daripada walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkahwinan.

Adanya perintah Nabi, baik dalam arti sunnah atau wajib mengadakan walimah mengandung arti sunnah mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan memberi makan hadirin yang dating. Tentang hokum menghadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya adalah wajib. Jumhur ulama yang berprinsip tidak wajibnya mengadakan walimah juga berpendapat wajibnya mendatangi undangan walimah itu. Kewajiban mengunjungi walimah itu berdasarkan kepada suruhan khusus nabi untuk memenuhi undangan walimah sesuai sabdanya yang bersumber dari Ibnu Umar dalam hadis muttafaq`alaih :

قال رسول الله عليه وسلم إذا نودى أحدكم الى وليمة فليأتها
Nabi Muhammad SAW “ Bila salah seorang diantaramu diundang menghadiri walimah al-`ursy, hendaklah mendatanginya. 

Lebih lanjut ulama Zahiriyah yang mewajibkan mengadakan walimah menegaskan kewajiban memenuhi undangan walimah itu dengan ucapan bahwa seandainya yang menerima undangan tidak berpuasa dia wajib makan dalam walimah itu, namun bila ia  berpuasa maka wajib juga dia mengunjunginya walau dia hanya sekadar mendoakan kebahagian pengantin itu.

Kewajiban menghadiri walimah sebagaimana pendapat jumhur dan zhahiriyah bila undangan itu ditujukan kepada orang tertentu dalam arti secara peribadi diundang. Hal ini mengandungi arti bila undangan walimah itu disampaikan dalam bentuk missal seperti melalui pemberitahuan di mass media yang ditujukan unbtuk siapa saja maka hukumnya tidak wajib.

Untuk menghadiri walimah biasanya berlaku untuk satu kali. Namun bila yang hayat mengadakan walimah untuk beberapa hari dan seseorang diundang untuk setiap kalinya, mana yang mesti dihadiri, menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Jumhur ulama termasuk Imam Ahmad berpendapat bahwa dihadiri adalah walimah hari yang pertama, hari yang kedua hukumnya sunnahsedangkan hari yang selanjutkan sunnah hukumnya. Mereka berdasarkan pendapatnya kepada hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah yang bunyinya:
الوليمة أول يوما حق والثانى معروف والثالث رياء وسمعة
Walimah hari pertama merupakan hak,hari kedua adalah makruf sedangkan hari ketiga adalah riya dan pamer.  









    

Mahar Sebagai Syarat Sah Perkahwinan Menurut Fikih Islam




Beberapa buku tentang hukum islam perkahwinan islam menempatkan pembahasan mahar secara tersendiri. Sebagai contoh dapat dilihat di dalam buku Ahmad Rafiq. Kata mahar yang telah menjadi bahasa Indonesia berasal daripada bahasa Arab al-mahr, jamaknya al-muhur atau al-muhurah. Kata yang semakna dengan mahar adalah al-shaqad, nihlah, faridhah, ajr, hiba`, dan sebagainya.

Secara istilah Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal. Bagi golongan hanabilah mendefinisikan mahar sebagai, “suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan dengan kerelaan kedua belah atau hakim atau himbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti wat`I syubhat dan wat`I  yang dipaksakan.

Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab maharadalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar dimasa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya. 

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya. Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.

Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri.

Pemberian mahar dalam pernikahan tidak hanya sebatas budaya yang berlaku dalam peradaban manusia, tata cara dan pemberian mahar bahkan diatur dalam kitab suci beberapa agama. Mahar dalam agama islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini disebabkan karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol. Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa mushaf Al-Qur'an serta seperangkat alat salat. Agama islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apapun (cincin dari besi, sebutir kurma, ataupun jasa), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.

Mas kawin juga disebut shadaq yang secara bahasa berarti jujur, lantaran dengan membayar mas kawin mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi wanita tersebut. Mas kawin disebut dengan faridhah yang secara bahasa berarti kewajiban, karena mas kawin merupakan kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita. Mas kawin juga disebut dengan ajran yang secara bahasa berarti upah, lantaran dengan mas kawin sebagai upah atau ongkos untuk dapat menggauli isterinya secara halal. Para ulama telah sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah, baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan sehingga si suami harus membayar mahar mitsil. Oleh karena itu, pernikahan yang tidak memakai mahar, maka pernikahannya tidak sah karena mahar termasuk salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan.

 Maksudnya : Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskahwin-maskahwin mereka sebagai pemberian Yang wajib. Kemudian jika mereka Dengan suka hatinya memberikan kepada kamu sebahagian dari maskahwinnya maka makanlah (gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat Yang lazat, lagi baik kesudahannya. ( Al- nisa :3)
 
 Maksudnya: dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri orang, kecuali hamba sahaya Yang kamu miliki. (Haramnya Segala Yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu. dan (sebaliknya) Dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan Yang lain daripada Yang tersebut itu, untuk kamu mencari (isteri) Dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina. kemudian mana-mana perempuan Yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang Diwajibkan oleh Allah). dan tiadalah kamu berdosa mengenai sesuatu persetujuan Yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami isteri), sesudah ditetapkan maskahwin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. ( Al- nisa : 29).

Berangkat dari ayat- ayat ini para ulama telah menetapkan menetapkan mahar itu hukumya wajib berdasarkan al-Quran,sunnah dan ijmak.3  Mahar oleh para ulamak di tempatkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayah Al- Mujtahidnye.

Mahar dapat dilihat dari dua sisi,kualifikasi dan klafikasi mahar.4 dari sisi kualifikasi mahar, dapat dibahagi dua, mahar yang berasal dari benda-benda yang konkrit seperti dinar,dirham atau emas dan mahar dalam bentuk manfaat atau jasa seperti mengajarkan mambaca al-quran, bernyanyi dan sebagainya. Dari sisi klasifikasi, mahar itu dapat dibahagi dua iaitu Musamma iaitu mahar yang besar disepakati kedua belah pihak dan dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan atas persetujuan istri dan mahar mistily iaitu mahar yang jumlahnya tidak disebutkan secara eksplisit pada waktu akad. Biasanya mahar jenis inimengikut mahar yang pernah diberikan kepada keluarga istri kepada adik atau kakaknya yang terlebih dahulu menikah.  


MAHAR Menurut Kompilasi Hukum Islam


Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria.

Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

Dengan demikian kendatipun mahar itu wajib namun dalam penentuannya tetaplah garus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya,sehingga calon istri merasa dilecehkan dan disepelekan.

Syariat mahar di dalam isla.m memiliki hikmah yang cukup dalam seperti :
1.      Untuk mengahalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya saling membuntukan.
2.      Untuk memberikan perhargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian.
3.      Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkahwinan mereka telah diikat dengan perkahwinan yang kuat sehingga suami tidak mudah menceraikan isterinya sesukanya.
4.      Untuk kenangan dan pengikat kasih saying antara suami istri.